Hikayat – Taubatnya Ka’ab bin Malik RA Karena Tidak Ikut dalam Perang Tabuk
Sayyidina Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu selanjutnya berkata, “Akibat larangan Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, orang-orang tidak mau berbicara dengan kami dan mulai menjauhi kami. Bagi kami, dunia seakan berubah, akan berubah, sehingga kami merasa bumi yang luas ini menjadi sempit. Semua orang menjadi asing bagi kami dan yang paling mengganggu pikiranku adalah, aku khawatir jika aku meninggal dunia saat itu, apakah jenazahku akan dishalatkan oleh Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam atau tidak? Yang lebih aku takutkan lagi, jika Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lebih dahulu wafat, aku akan selamanya dalam keadaan seperti ini, tanpa seorang pun berbicara denganku, dan tak seorang pun yang berani menyalatkan jenazahku. Siapakah yang berani menentang perintah Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam?’
Demikianlah keadaan kami selama lima puluh hari. Sejak awal, dua orang kawanku hanya berdiam di dalam rumah. Sedangkan aku yang paling tegar di antara mereka. Aku masih berjalan ke pasar, dan ikut berjamaah di masjid. Namun, tak seorang pun yang berani berbicara denganku. Aku sering hadir di majelis Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengucapkan salam sambil penuh harap ada jawaban yang keluar dari bibir beliau yang mulia.
Suatu ketika, setelah shalat berjamaah, aku berdiri shalat sunnah di dekat beliau. Aku melirik apakah beliau melihatku atau tidak. Ternyata, ketika aku sibuk dengan shalatku, beliau memandangku, tetapi ketika aku memandang beliau, beliau memalingkan wajah.
Keadaan seperti ini terus berlangsung. Tidak bicaranya orang-orang Islam menjadi teramat berat bagiku, maka aku memanjat pagar rumah sepupuku, yang sangat akrab denganku, Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu. Aku mengucapkan salam, tetapi ia tidak membalas salamku. Aku bersumpah di hadapannya, lalu bertanya, ‘Bukankah engkau tahu bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?’ la tidak menjawab pertanyaanku. Aku kembali bersumpah dan bertanya kepadanya. Namun, ia tetap tidak menjawab pertanyaanku. Ketika aku ulangi yang ketiga kalinya dengan bersumpah, ia hanya menjawab, ‘Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui.’ Mendengar jawabannya itu, aku langsung menangis. Lalu, aku meninggalkan tempat itu.
Suatu saat, aku sedang berjalan-jalan di pasar Madinah. Kulihat seorang Qibti (Mesir) Nasrani datang dari Syam ke Madinah untuk berdagang. Aku mendengar la berkata, ‘Tolong tunjukkan rumah Ka’ab bin Malik!’ Orang-orang pun menunjuk ke arahku. Kemudian ia mendatangiku dan memberi sepucuk surat dari raja kafir yang memerintah di Negeri Ghassan. Tertulis di dalamnya: Kami telah mengetahui bahwa saat ini Anda sedang dizhalimi oleh pemimpin Anda. Allah tidak akan membiarkan Anda dalam kehinaan dan menyia-nyiakan Anda. Maka datanglah kepada kami, kami akan menolong Anda.”‘ (Sudah menjadi kebiasaan di dunia ini, jika seorang bawahan menerima peringatan dari pimpinannya, maka orang-orang yang ingin menyesatkan akan lebih memanasi dirinya, berpura-pura menasihati mereka, dan akan lebih membakar dengan kata-kata seperti itu).
Sayyidina Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Setelah membaca surat tersebut, aku langsung mengucapkan, ‘lnnaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun!’ Sampai seperti itukah keadaanku, sehingga orang-orang kafir pun menginginkan diriku dan berusaha mengeluarkan aku dari Islam. lni satu musibah lagi bagiku. Kuambil surat tersebut, ‘ lalu kucampakkan ke dalam tungku api. Kemudian aku mengunjungi Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Ya Rasulullah, karena engkau berpaling, orang-orang kafir pun menghendaki diriku agar memasuki agama mereka.’
Demikianlah keadaan yang menimpaku selama empat puluh hari. Hingga suatu saat, datanglah utusan Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan kami agar berpisah dengan istri-istri kami. Aku bertanya, ‘Apakah maksudnya aku harus mencerainya?’ Jawabnya, ‘Bukan, tetapi sekedar berpisah untuk sementara.’ Utusan itu pun mendatangi kedua temanku untuk menyampaikan hal yang sama. Aku berkata kepada istriku, ‘Pulanglah ke rumah keluargamu dan tinggallah di sana selama Allah Subhaanahu wata’ala belum memutuskan masalah ini!’ Sedangkan istri Sayyidina Hilal bin Umayyah Radhiyallahu ‘anhu menemui Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan, ‘Hilal sudah sangat tua. Jika ada yang mengurusnya, hal itu dapat membuatnya celaka. Jika Engkau mengizinkan dan tidak merasa keberatan, aku ingin merawatnya.’ Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyahut, ‘Kamu boleh merawatnya, asalkan tidak berhubungan badan dengannya.’ lstrinya menjawab, ‘Ya Rasulullah, ia sudah tidak memiliki keinginan lagi semenjak peristiwa ini menimpanya. la menghabiskan waktunya dengan menangis sampai sekarang.'”
bersambung …
[99 Kisah Orang Shalih, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab]
Leave a Reply